Sumber Tempo menyebutkan perusahaan milik taipan Eka Tjipta Widjaya ini serius dalam mengembangkan energi alternatif ini. Apalagi, menurut dia, Smart mengincar kesempatan ikut dalam carbon trading atau jual-beli kredit karbon antara negara maju dengan negara berkembang. "Ini alasan utama mereka," ujar sumber itu.
Wakil Presiden Komisaris Smart G. Sulistyanto membenarkan rencana Smart membangun pabrik biofuel di Belgia. Menurut dia, saat ini tim khusus yang dibentuk perseroan masih berada di Belgia untuk melakukan penjajakan atas proyek tersebut."Mereka (tim penjajakan) baru kembali tanggal 9 Maret mendatang," ujarnya kepada Tempo.
Sulistyanto menolak memerinci berapa dana yang disiapkan perseroan dan kapan pembangunan proyek tersebut dimulai. "Masih dalam tahap penjajakan, jadi belum bisa dibicarakan sekarang," ujarnya.
Setelah lama hanya menggeluti bisnis perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, Smart mulai melirik mengembangkan energi nabati. Januari lalu, perusahaan ini menggandeng Hong Kong Energy Ltd dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) untuk mengembangkan proyek biofuel senilai US$ 5,5 miliar.
Proyek itu nanti akan menghasilkan biodiesel dengan bahan baku kelapa sawit (CPO) dan bioethanol dengan bahan baku tebu dan singkong. Langkah strategis bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang cadangannya makin menipis. Rencananya proyek ini akan dibangun di Papua dan Kalimantan.
Adapun, analis PT Recapital Securities Satrio Utomo meragukan rencana Smart ini. Pasalnya, selama ini pergerakan saham perusahaan tersebut lantai bursa kurang likuid. "Ada kekhawatiran kalau aksi korporasi mereka itu hanya untuk menjaga harga sahamnya," katanya.
Selain itu, ujar Satrio, distribusi saham Smart yang kurang baik di masa lalu juga memunculkan rasa hati-hati bagi investor asing dan lokal. "Umumnya mereka menghindari saham ini," ujaranya.
Sumber: Tempointeraktif
EN
